DEMOKRASI DAN MUSYAWARAH (ISLAM)
|
Anti Demokrasi |
a.
Demokrasi
Isitilah “demokrasi” berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena
kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh
awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern.
Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan
definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan
perkembangan sistem “demokrasi” di banyak negara.
Kata “Demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat,
dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan
sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi
menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator
perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara
sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan rakyat) atas
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.
Salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif)
untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas
(independen) dan berada dalam peringkat yg sejajar satu sama lain.
Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan
agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling
mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Semenjak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Undang-Undang Dasar 1945
memberikan penggambaran bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam
mekanisme kepemimpinannya Presiden harus bertanggung jawab kepada MPR
dimana MPR adalah sebuah badan yang dipilih dari Rakyat. Sehingga secara
hirarki seharusnya rakyat adalah pemegang kepemimpinan negara melalui
mekanisme perwakilan yang dipilih dalam pemilu. Indonesia sempat
mengalami masa demokrasi singkat pada tahun 1956 ketika untuk pertama
kalinya diselenggarakan pemilu bebas di indonesia, sampai kemudian
Presiden Soekarno menyatakan demokrasi terpimpin sebagai pilihan sistem
pemerintahan.
Setelah mengalami masa Demokrasi Pancasila, sebuah demokrasi semu yang
diciptakan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto, Indonesia kembali
masuk kedalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan junta
militer Soeharto tumbang. Pemilu demokratis kedua bagi Indonesia
terselenggara pada tahun 1999 yang menempatkan Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan sebagai pemenang Pemilu.
b. Musyawarah
|
Musyawarah di berbagai aspek kehidupan |
Secara etimologis, musyawarah berasal dari kata “syawara” yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain, termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga
berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada
dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna
dasarnya.
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja syawara
yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufa’alah (perbuatan yang
dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah bersifat dialogis,
bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas mengemukakan
pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah diharapkan dapat
diketahui kelemahan pendapat yang dikemukakan, sehingga keputusan yang
dihasilkan tidak lagi mengandung kelemahan.
Musyawarah atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna
menciptakan peraturan di dalam masyarakat mana pun. Setiap negara maju
yang menginginkan keamanan, ketentraman, kebahagiaan dan kesuksesan bagi
rakyatnya, tetap memegang prinsip musyawarah ini. Tidak aneh jika Islam
sangat memperhatikan dasar musyawarah ini.
Islam menamakan salah satu surat Al-Qur’an dengan Asy-Syura, di dalamnya
dibicarakan tentang sifat-sifat kaum mukminin, antara lain, bahwa
kehidupan mereka itu berdasarkan atas musyawarah, bahkan segala urusan
mereka diputuskan berdasarkan musyawarah di antara mereka. Sesuatu hal
yang menunjukkan betapa pentingnya musyawarah adalah, bahwa ayat tentang
musyawarah itu dihubungkan dengan kewajiban shalat dan menjauhi
perbuatan keji.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Asy-Syura 42: 37-38 : “Dan
(bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan
apabila mereka marah, mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang
menerima (mematuhi) seruan Tuhan-Nya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka; dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Dalam ayat di atas, syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi
masyarakat Islam dituturkan sesudah iman dan shalat. Menurut Taufiq
asy-Syawi, hal ini memberi pengertian bahwa musyawarah mempunyai
martabat sesudah ibadah terpenting, yaitu shalat, sekaligus memberikan
pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang
tingkatannya sama dengan shalat dan zakat. Maka masyarakat yang
mengabaikannya dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah
satu ibadah.
‘Abdul Karīm Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah adalah hak ummat dan
kewajiban imam atau pemimpin. Dalilnya adalah firman Allah SWT yang
memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk bermusyawarah dengan para
sahabat.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka dan bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Ali ‘Imran 3: 159)
Ayat di atas turun dalam konteks Perang Uhud, di mana pasukan Islam
nyaris mengalami kehancuran gara-gara pasukan pemanah yang ditempatkan
Nabi di atas bukit
tidak disiplin menjaga posnya. Akibatnya posisi strategis itu dikuasai
musuh dan dari sana mereka balik menyerang pasukan Islam. Namun demikian
Nabi tetap bersikap lemah-lembut dan tidak bersikap kasar kepada
mereka.
Sebenarnya sebelum perang Uhud Nabi sudah bermusyawarah terlebih dahulu
dengan para sahabat tentang bagaimana menghadapi musuh yang akan datang
menyerang dari Mekkah, apakah ditunggu di dalam kota atau disongsong ke
luar kota. Musyawarah akhirnya memilih pendapat yang kedua. Dengan
demikian, perintah bermusyawarah kepada Nabi ini dapat kita baca sebagai
perintah untuk tetap melakukan musyawarah dengan para sahabat dalam
masalah-masalah yang memang perlu diputuskan bersama.
Mengomentari perintah musyawarah kepada Nabi dalam ayat di atas Muhammad
Abdul Qadir Abu Faris menyatakan: “Jika Rasulullah SAW yang ma’shum dan
mendapatkan penguat wahyu, sampai tidak pernah berbicara dengan nafsu
telah diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah SWT agar bermusyawarah
dengan para sahabatnya, sudah tentu, bagi para hakim dan umara,
musyawarah sangatlah ditekankan”.
Bahkan Rasulullah SAW yang memiliki kedudukan yang sangat mulia itu
banyak melakukan musyawarah dengan para sahabat beliau seperti tatkala
mencari posisi yang strategis dalam perang Badar, sebelum perang Uhud
untuk menentukan apakah akan bertahan di dalam kota atau di luar kota,
tatkala Nabi berencana untuk berdamai dengan panglima perang Ghathafan
dalam perang Khandaq, dan kesempatan lainnya.
Memang, musyawarah sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan
yang paling baik di samping untuk memperkokoh persatuan dan rasa
tanggung jawab bersama. ‘Ali ibn Abī Thalib menyebutkan bahwa dalam
musyawarah terdapat tujuh hal penting yaitu mengambil kesimpulan yang
benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan, menghindarkan celaan,
menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati.
1. OPINI DAN PERMASALAHAN
Kita hidup di dunia ini tak akan pernah lepas dari kejaran
masalah-masalah, baik itu masalah pribadi maupun masalah yang menyangkut
kesejahteraan rakyat. Sebagai makhluk sosial, kita tak akan bisa hidup
tanpa orang lain yang membantu kita, karena kita diciptakan oleh Allah
SWT berpasang-pasangan dan diwajibkan untuk saling membantu serta saling
melengkapi. Kenapa kita harus saling melengakpi dalam hidup ini? Karena
manusia itu kan tidak ada yang sempurna, oleh karena itu kita harus
saling melengkapi agar ketika kita ditimpa musibah, kita dapat
menyelesaikannya bersama.
Demokrasi saat ini sudah banyak diperbincangkan bahkan diagung-agungkan
yang katanya sebagai solusi dari suatu permasalahan. Katanya sich,
demokrasi itu sebuah kebebasan berpendapat setiap individu. Tapi
pendapat yang bagaimana nich…! menurut pengetahuan yang saya dapat,
memang benar demokrasi itu sebuah kebebasan setiap individu, meskipun
individu tersebut orang awam artinya orang tersebut tidak mengerti
masalah yang sedang dihadapi, dan dia seakan-akan dipaksa untuk
memberikan pendapatnya, secara otomatis pasti dia memberikan pendapat
sesuka hatinya, meskipun pendapatnya itu bertentangan dengan agama. Kalo
udah kayak gitu, apakah demokrasi itu sejalan dengan ajaran agama kita
yakni agama Islam? Dan apakah demokrasi akan membawa kejayaan untuk
Islam?
Pemungutan suara atau biasa disebut dengan voting sering digunakan oleh
lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik dalam sebuah negara
maupun dalam sebuah perkumpulan biasa, di dalam mengambil sebuah sikap
atau dalam memilih seorang pimpinan dan lain-lain. Cara ini sudah
menjadi sesuatu yang gak asing lagi di mata kita, karena semua
permasalahan diselesaikan dengan cara mengambil suara mayoritas atau
dengan pemungutan suara itu. Dengan pemungutan suara secara otomatis
siapa saja / masyarakat umum bisa dilibatkan di sini. Padahal kan banyak
diantara masyarakat itu gak tau. Dan dalam memilih seorang pemimpin
umat pun cara itulah yang digunakan, walaupun orang itu tidak tahu apa
dan bagaimana kriteria seorang pemimpin umat menurut konsep Islam.
Pemungutan suara atau voting boleh digunakan dalam pengambilan sebuah
sikap atau keputusan, tapi tidak untuk menentukan pemimpin umat. Sebab,
ini menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara yang cakupannya sangat
luas. Kenapa saya menganggap voting itu dibolehkan dalam pengambilan
sebuah keputusan atau sikap? Karena pada zaman Nabi Muhammad SAW banyak
sekali bentuk praktek voting di zaman nabi Muhammad SAW, yang intinya
memang menggunakan jumlah suara sebagai penentu dalam pengambilan
keputusan.
Misalnya, ketika musyawarah menentukan sikap dalam menghadapi perang
Uhud. Sebagian kecil shahabat punya pendapat sebaiknya bertahan di
Madinah, namun kebanyakan shahabat, terutama yang muda-muda dan belum
sempat ikut dalam perang Badar sebelumnya, cenderung ingin menyongsong
lawan di medan terbuka. Maka Rasulullah SAW pun ikut pendapat mayoritas,
meski beliau sendiri tidak termasuk yang mendukungnya.
Sebelumnya dalam perang Badar, juga Rasulullah SAW memutuskan untuk
mengambil suara terbanyak, tentang masalah tawanan perang. Umumnya
pendapat menginginkan tawanan perang, bukan membunuhnya. Hanya Umar bin
Al-Khattab saja berpendapat bahwa tidak layak umat Islam minta tebusan
tawanan, sementara perang masih berlangsung. Tetapi, kesemuanya itu
tetap dilakukan dengan cara musyawarah terlebih dahulu, tidak seenaknya
menentukan keputusan.
Setelah kita melihat contoh-contoh pada zaman Rasulullah SAW,
menggunakan voting sebagai pemutusan sebuah sikap, tetapi bukan untuk
menentukan seorang pemimpin umat. Apa yang terjadi di Negara kita?
Negara ini menggunakan voting sebagai penentu untuk menentukan siapa
pemimpin Negara, Daerah, dll. Jadi, voting hanya boleh dipakai untuk
menentukan sikap atau keputusan yang tidak bersinggungan dengan syariah
(aqidah).
Arti dari Pemungutan suara (PEMILU) itu sendiri adalah pemilihan
pemimpin dengan cara mencatat nama yang dipilih atau dengan mencoblos
salah satu calon yang diinginkan (disuka) atau dengan kata lain voting.
Pemungutan suara ini, meskipun memiliki arti: pemberian hak pilih, tapi
gak perlu digunakan dalam pemilihan pemimpin, apalagi ini dalam
menentukan pemimpin umat yang cakupannya lebih besar, bahkan besar
banget!!
Cara itulah yang digunakan oleh negara demokrasi seperti Indonesia.
Dengan pemungutan suara (demokrasi) menentukan seorang pemimpin dengan
pelaksanaannya yang dinamakan dengan PEMILU (Pemilihan Umum), seperti
yang telah dijelaskan di atas. Dengan pemilu, seluruh rakyat memilih
calon pemimpin negara (yang dikasih nama Presiden itu). Jadi, seluruh
warga baik yang awam maupun yang cerdas atau yang berpendidikan, berhak
menentukan pemimpinnya yang nantinya dia yang menjalankan roda
pemerintahan di negara tersebut. Kekuasaan / kedaulatan itu semuanya
berada di tangan rakyat secara mutlak.
Dengan cara dan praktek kayak gini bisa aja seorang yang gak layak
menjadi pemimpin (Pemabuk, Koruptor, Pemerkosa, dll) keluar menjadi
pemenangnya, terus gimana nasib negara ini kalo yang jadi pemimpin itu
pemabuk, koruptor, pemerkosa, dll. Adapun yang pantas dan berhak menjadi
pemimpin malah tersingkir atau malahan gak dipandang sama sekali !
Sedangkan dalam Islam metode pemungutan suara ini tidak dibenarkan
(penentuan seorang pemimpin ummat), yang digunakan adalah metode
musyawarah (syuro) dan mengajarkan bahwa kedaulatan itu bukan berada di
tangan manusia, tetapi berada di tangan Allah SWT dan Rasul-Nya dan
berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Hadits. Allah SWT pun berfirman:
Surat Al-Ahzab: 36 yang artinya: “Dan tidaklah patut laki-laki yang
mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan
(yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah
dan rasul-Nya maka sungguh di telah sesat, sesat yang nyata.”
Surat An-Nisaa: 58 yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan
adil”.
Surat An-Nisaa itu pun menjelaskan bahwa dalam menentukan pemimpin atau
memberi amanat itu hanya kepada yang mampu menerima dan melaksanakan
amanat tersebut, artinya dia mampu dan termasuk dalam kriteria seorang
pemimpin yang dimaksudkan Islam tadi.
Kepemimpinan adalah sebuah amanat yang sangat agung, yang menyangkut
tentang seluk-beluk kehidupan manusia. Oleh karena itu amanat ini harus
diserahkan kepada yang berhak menerimanya menurut pandangan syari’at.
Proses pemungutan suara bukanlah cara yang tepat untuk penyerahan amanat
tersebut. Karena cara itu tidak bisa menjamin kalo amanat itu
tersampaikan kepada yang berhak.
Bahkan di lapangan pun telah terbukti kalo yang menerima amanat itu
bukan orang-orang yang berhak menerimanya, misalnya saja seorang
pemimpin yang selalu ragu-ragu dalam mengambil sebuah kebijakan, sebab
di dalam Islam itu seorang pemimpin itu harus tegas dalam menentukan
kebijakan atau keputusan-keputusan; dan bisa saja pemimpin tersebut
adalah seorang KORUPTOR.
Pemimpin Negara (Kepala Negara), menurut Al-Baqillani, harus berilmu
pengetahuan yang luas, karena ia memerlukan para hakim yang berlaku
adil. Dengan ilmunya itu ia dapat mengetahui apakah putusan hakim sesuai
dengan ketentuan hukum atau tidak dan apakah sesuai dengan asas
keadilan. Syarat lain, kepala negara harus bertindak adil dalam segala
urusan, berani dalam peperangan, dan bijaksana dalam mengorganisir
militer yang bertugas melindungi rakyat dari gangguan musuh. Dan dalam
segala tindakannya itu harus bertujuan untuk melaksanakan “Syari’at
Islam”. Artinya dalam mengatur kepentingan umat harus sesuai dengan
“Syari’at Islam”.
Tidak berbeda dari Al-Baqillani, Al-Baghdadi menyatakan: “Kelompok kami
berpendirian bahwa orang yang berhak memegang jabatan khalifah (Pemimpin
Negara) harus memiliki kualitas berikut: 1) berilmu pengetahuan,
minimal untuk mengetahui apakah undang-undang yang dibuat para mujtahid
sah menurut hukum agama dan peraturan-peraturan lainnya; 2) bersifat
jujur dan saleh; 3) bertindak adil dalam menjalankan segala tugas
pemerintahan dan berkemampuan”.
Jadi, sudah jelas dari kedua kelompok di atas tadi menjelaskan bahwa
syarat menjadi seorang pemimpin negara itu adalah harus orang yang
memiliki ilmu pengetahuan, minimalnya dia harus tahu apakah
undang-undang yang dibuatnya tidak keluar dari batas-batas hukum agama
Islam yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Kita lihat di
Indonesia, apakah undang-undang kita masih dalam batas-batas yang telah
dibatasi oleh pedoman agama kita yakni Al-Qur’an dan Hadits?
Menurut kaca mata saya, undang-undang yang diterapkan di negara ini
sudah melenceng dari Al-Qur’an dan Hadits, contohnya saja penjualan
minuman keras masih merajalela bahkan dibiarkan beroperasi. Dan yang
lebih parah lagi, pemilihan seorang pemimpin (kepala negara)
dilaksanakan dengan cara pemungutan suara, padahal Islam tidak
mengajarkan seperti itu. justru islam mengajarkan bahwa dalam penentuan
seorang pemimpin itu dilaksanakan dengan cara bermusyawarah.
Sebenarnya bukan keluar dari Al-Qur’an dan Hadits saja, demokrasi pun
sudah tidak sesuai lagi dengan pedoman hidup negara kita yakni
Pancasila. Seperti yang tercantum dalam sila ke 4 : “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam permusyawaratan, perwakilan”.
Disini dikatakan bahwa “kebijaksanaan dalam permusyawaratan” bukanlah
“kebijaksanaan dalam demokrasi”. Jadi, jelas sekali ternyata demokrasi
bukan hanya tidak sesuai dengan pedoman agama kita (Al-Qur’an dan
Hadits), tetapi dengan Pancasila pun sudah tidak sesuai.
Sebenarnya Pancasila yang ada di negara kita ini sudah benar, sebab isi
silanya itu merupakan isi yang sesuai dengan ajaran agama Islam, isinya
itu tidak keluar dari pagar pembatas Al-Qur’an dan Hadits.
Kalo dalam demokrasi itu sich nash-nash syari’at dan hukum-hukum Allah
itu gak dianggap, tapi yang dianggap dan dijadikan acuan dalam demokrasi
ini adalah “Hukum Rakyat”. Jadi rakyat adalah sumber hukum dalam setiap
permasalahan ummat. Oleh karena itu, orang-orang mendefinisikan
demokrasi itu dalam undang-undang dengan sebutannya “Kedaulatan
sepenuhnya berada di tangan Rakyat”, sehingga demokrasi bisa disebut
dengan nama hukum mayoritas rakyat (suara terbanyak).
Di dalam Islam dalam menentukan seorang pemimpin ummat tidak menggunakan
demokrasi (suara mayoritas), tapi Islam menyelesaikan masalah ummat
atau bahkan menentukan pemimpin umat itu dengan cara Musyawarah (Syuro).
Jadi setiap permasalahan yang ada, diselesaikan dengan Musyawarah.
Kan musyawarah itu didefinisikan dengan mengeluarkan pendapat setiap
anggota musyawarah itu. Nanti dulu donk? Kita selidiki dulu, siapa yang
berhak mengeluarkan pendapat itu? Dan anggota musyawarah itu, siapa?
Nah, yang berada di Majelis Syuro itu adalah ahl al-hall wa al-‘aqd dan
ahl al-ikhtiyar, yang artinya “orang yang berkompeten untuk melepas dan
mengikat”.
Nah, sekarang udah jelas nich, siapa yang berada di Majelis Syuro itu,
yakni orang-orang yang berkompeten di bidangnya masing-masing, seperti
Ulama, Kepala Negara, dan para pemuka masyarakat yang berusaha
mewujudkan kemaslahatan rakyat. Kalo gitu, Islam tidak mengenal yang
namanya Hak Asasi Manusia (HAM) donk? Jangan salah, Islam mengenal yang
namanya HAM, lihat salah satu anggota musyawarah di atas, ”Para Pemuka
Masyarakat”. Nah, sebelum ada para pemuka masyarakat itu, dia meminta
pendapat masyarakatnya terlebih dahulu, dan selanjutnya ditampung oleh
tokoh masyarakat itu dan disampaikan di Majelis Syuro itu.
Kenapa hanya Tokoh Masyarakat saja yang dibawa ke majelis syuro? Karena
pada dasarnya manusia itu gak semuanya berkompeten. Dan menurut teori
Mc. Gregor, jika manusia diberi kebebasan, mereka akan melakukannya
menurut cara mereka sendiri / sesuaka hati meskipun itu melanggar
peraturan. Jadi, di dalam Islam yang berada di dalam majelis Syuro
adalah para wakil rakyat.
Ada yang mengatakan bahwa pemungutan suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat berbeda jauh antara Musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala Demokrasi, yakni perbedaan itu diantaranya:
1. Dalam musyawarah mufakat, keputusna ditentukan oleh dalil-dalil walaupun suaranya minoritas
2. Anggota musyawarah adalah ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih,
adapun di dalam pemungutan suara anggotanya bebas siapa saja
3. Musyawarah hanya perlu dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun dalam pemungutan suara, walaupun sudah
ada dalil yang jelas seterang matahari, tetap saja dilakukan karena
yangberkuasa adalah suara terbanyak, bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Mengenai masalah para wakil rakyat, Islam punya kriteria tersendiri bagi
orang-orang yang duduk di Majelis Syuro. Ada tiga syarat, yaitu:
1. Sifat adil terhadap siapa saja dan senantiasa memelihara wibawa dan nama bik;
2. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk negara
(ketatanegaraan) sehingga mampu menentukan pilihan dengan membedakan
siapa yang paling berhak untuk diangkat menjadi Imam (Kepala Negara);
dan
3. Wawasan luas dan kebijaksanaan sehingga mampu menilai berbagai
alternatif serta memilih yang terbaik untuk umat sesuai dengna
kemaslahatannya dan menjauhkan yang dapat membahayakannya.
Dan disamping hal tersebut juga perlu diperhatikan bahwa ia juga harus
senantiasa memperhatikan tradisi yang ada di masyarakat itu sendiri.
Jadi, para wakil rakyat harus memperhatikan tradisi atau budaya yang
terdapat dalam masyarakat yang sedang diwakili oleh wakil rakyat itu.
Dengan adanya ketiga syarat itu, diharapkan para wakil rakyat itu akan
dapat mewakili kamuan dan kehendak rakyat yang diwakilinya.
Pada buku yang saya baca dengan judul “Demokrasi Sejalan dengan Islam?”,
saya setuju dengan apa yang dikatakan di dalam buku ini, mengenai
perbedaan demokrasi dengan syuro yang diibaratkan bagaikan langit dan
bumi, yang perbedaannya itu, ialah:
v Syuro adalah aturan dan manhaj rabbaniy, sedangkan demokrasi adalah
hasil karya manusia yang serba kekurangan yang selalu diombang-ambing
oleh hawa nafsu dan emosi.
v Syuro adalah bagian dari syarai’at Allah SWT, dien-Nya dan hukum-Nya,
sedangkan demokrasi adalah penentangan terhadap hukum Allah SWT.
v Syuro dilakukan dalam masalah yang tidak ada nash di dalamnya, adapun
dalam masalah yang sudah ada nashya maka tidak ada syuro.
Jadi, di point ke tiga disebutkan bahwa syuro itu sendiri digunakan jika
dalam suatu masalah itu tidak ada nash di dalamnya, baru diadakan
syuro. Dan orang-orang yang berada di dalamnya itu pun harus orang-orang
yang berkompeten di bidangnya. Dan jika masalah itu sudah ada nash nya,
maka syuro itu pun tidak berlaku. Jadi, penyelesaiannya itu dengan cara
mengikuti hukum yang udah diturunkan oleh Allah SWT yakni Al-Qur’an dan
Hadits. Karena yang menentukan hukum itu bukanlah manusia, tetapi
manusia lah yang wajib mentaati aturan yang diturunkan oleh Allah SWT,
Rasul-Nya dan kemudian kepada pemimpin kaum muslimin.
2. HASIL DISKUSI
Pendapat orang itu berbeda-beda, jadi kalo ada yang berbeda pendapat
jangan marah ya? Setelah saya berdiskusi dengan keluarga, saudara serta
teman-teman saya, banyak yang didapat dari diskusi tersebut.
Pertama-tama saya bertanya terlebih dahulu, “Apakah demokrasi itu
menurut mereka?
Dan apakah musyawarah menurut mereka (Islam)? Kenapa saya bertanya
seperti itu? Untuk pertanyaan yang pertama, karena sebelum berdiskusi
terlalu jauh, kita harus sepakat dulu, satukan pikiran, apakah demokrasi
itu? Sebab yang sedang kita bahas adalah demokrasi, dan apakah
musyawarah itu? kenapa saya bertanya musyawarah? Karena di dalam Islam
yang dipakai bukan demokrasi (menurut saya), tetapi Musyawarah?
Jadi, saya pun harus bertanya tentang musyawarah itu, agar kita semua
tahu apa musyawarah itu, apa bedanya dengan demokrasi? Apakah berbeda,
ataukah sama dengan demokrasi? Jika yang saya tanya itu tidak tahu atau
pun tidak sepaham dengan saya, saya mencoba untuk meluruskannya.
Pertama, lawan diskusi saya menjawab, bahwa demokrasi adalah kebebasan
berpendapat yang dikenal dengan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat. Dan demokrasi yang diterapkan di Indonesia itu adalah
“Demokrasi Pancasila”. Lalu, definisi musyawarah pun dijawab, bahwa
musyawarah katanya sama dengan demokrasi, kedua-duanya sama-sama
mengeluarkan pendapat.
Jadi, menurut mereka musyawarah dan demokrasi itu gak ada bedanya.
Kemudian saya pun sepakat dengan jawaban dia yang pertama, mengenai
demokrasi itu, tetapi saya terus menambahkan jawaban dia tentang
kebebasan berpendapat tadi, bahwa demokrasi merupakan kebebasan
berpendapat yang dimiliki oleh setiap “Individu”, itu menurut pengamatan
saya berdasarkan apa yang telah terjadi di negeri ini.
Nah, individu disini berarti kan setiap manusia memiliki hak untuk
mengeluarkan pendapatnya, walaupun pendapatnya itu keluar dari batasan.
Yang namanya manusia itu kan tidak semuanya pintar, paham, serta
berwawasan luas. Manusia itu ada yang pintar dan ada pula yang bodoh,
ada yang baik dan ada pula yang jahat. Nah, bagaimana dengan orang jahat
itu, apakah dia akan mengeluarkan pendapat yang benar?
Nah, tentang demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia itu, kata dia
adalah “Demokrasi Pancasila”, tetapi menurut saya demorkasi itu sendiri
sudah bertentangan dengan Pancasila, yakni pada sila ke 4, yang mana
isinya “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah, kebijaksanaan dalam
permusyawaratan, perwakilan” kita lihat, disitu dibilang bahwa
‘permusyawaratan’ bukan ‘dalam Demokrasi, Perwakilan’.
Lalu, dia pun ‘diam’. Dan saya juga gak sepakat dengan jawaban mereka
yang kedua tentang musyawarah? Lalu, saya pun menjawab tentang
musyawarah tadi, bahwa musyawarah memang betul bebas mengeluarkan
pendapat, tetapi bebas disini tidak sebebas yang mereka kira, menurut
ajaran islam kebebasan berpendapat dalam bermusyawarah itu memiliki
batas-batas tertentu yaitu dengan tidak keluar dari syari’ah yakni
Al-Qur’an dan Hadits.
Lalu, saya bertanya : “Jika demokrasi itu sejalan dengan Islam,
bagaimana dengan pemilu? Pemilu itu kan pemilihan umum yang dilaksanakan
untuk memilih seorang pemimpin negara dan ummat, dan yang ada dalam
pemilu itu kan cara pemilihannya dengan cara voting, artinya dengan
penentuan suara terbanyak / suara mayoritas?” Dia pun menjawab: “Memang
menurut saya voting itu memang tidak sesuai dengan islam, karena itu
seperti kita bermain judi / gambling, artinya dalam pemilihan seorang
“Kepala Negara” itu ditentukan dengan cara perjudian (untung-untungan)”.
Menurut dia, demorkasi yang diterapkan di Indonesia sudah mengacu kepada
demokrasi liberal, yang mana demokrasi liberal itu sistem yang
diterapkan oleh negara Amerika. Amerika menerapkan demokrasi liberal,
yang mana disana kebebasan berpendapat atau mengeluarkan aspirasi atau
apapun itu, dibebaskan disana sebebas-bebasnya.
Ah, ternyata dia gak setuju juga dengan yang namanya voting, dimana
voting ini sudah diterapkan di Indonesia sebagai cara pemilihan seorang
pemimpin. Kan saya bilang pada dia, bahwa pemilihan seorang pemimpin,
apalagi pemimpin ummat di dalam islam itu menggunakan sistem musyawarah
(syuro), dimana orang-orang yang ada di dalam majelis syuro itu bukan
orang sembarangan, yakni mereka adalah orang-orang yang memiliki potensi
di bidangnya masing-masing, seperti ulama, kepala negara, tokoh
masyarakat, dimana mereka yang mewakili dan dipercayai oleh masyarakat
untuk mewakilinya.
Mereka mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan diseleksi apakah
pendapatnya itu benar ataukah keluar dari Al-Qur’an dan Hadits. Nah,
lalu saya bilang lagi pada dia, bahwa yang diterapkan di Indonesia itu
bukannya mengeluarkan pendapat untuk memilih seorang presiden, tetapi
hanya mencoblos poster atau nama presiden yang dia sukai, yang mana di
suka itulah yang dipilih, apakah pilihannya itu benar atau tidak, itu
lain urusan? Terus, dia menjawab: “Jika seluruh rakyat Indonesia disuruh
untuk mengeluarkan pendapatnya di gedung rakyat, apa yang terjadi? Dan
kalau gitu Islam tidak memberi kebebasan kepada rakyat untuk memberikan
pendapatnya donk?” Katanya.
Nah, saya pun menjawab: “Tenang ‘cuy’, kita lihat yang pernah diterpakan
oleh presiden Soeharto, waktu zaman dia, pemilu itu tetap dilaksanakan
dan rakyat pun tetap mengeluarkan hak pilihnya. Tetapi, bedanya hasil
pilihan rakyat di setiap daerah itu, pertama ditampung terlebih dahulu
oleh wakil rakyat dan kemudia dimusyawarahkan kembali di gedung rakyat,
kurang lebih seperti itu lah?
Nah, di dalam Islam pun kurang lebih kayak gitu, pertama pilihan
masyarakat ditampung kepada tokoh masyarakat atau pun wakil rakyat tadi,
kemudian dimusyawarahkan dengan tokoh-tokoh yang lainnya yang tergabung
dalam majelis syuro itu, jadi, gak sembarang orang yang terdapat dalam
majelis syuro itu” menurut saya. Menurut saya antara pemerintahan yang
dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dengan pemerintahan
Presiden Soeharto, lebih bagus Soeharto, itu saya lihat dari sistem
pemilihan umumnya, yang tidak sepenuhnya diserahkan kepada rakyat,
tetapi tetap ada proses pengolahan di gedung rakyat itu.
Setelah itu, saya pun bertanya kembali kepadanya. “Bagaimana? Apakah
demorkasi itu masih sesuai atau sejalan dengan Islam?” Tetapi, dia
menjawab: “Aah…. saya tetap dalam pendirian saya, bahwa demokrasi itu
memang sejalan dengan Islam.” Dia tetap ‘kekeh’, ya udah lah, saya gak
memaksa dia (saudara), keluarga dan teman saya tadi. Saya tetap
menghargai pendapat mereka, kan namanya juga manusia, memiliki pemikiran
yang berbeda-beda.
|
Penegasan sang Guru tentang Demokrasi & Musyawarah
|
3. PANDANGAN HABIB RIEZIEQ TENTANG DEMOKRASI
Jakarta
- FPI: Benarkah Indonesia Negara Demokrasi? Pertanyaan itu dilontarkan
Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab dalam
acara bertajuk NKRI Bersyariah, di Jakarta, Jum’at 11 Robi’ul Akhir 1434
H/ 22 Februari 2013.
Secara
singkat Habib Rizieq menguraikan, bahwa ketika perdebatan tentang Dasar
Negara sebelum kemerdekaan diproklamirkan, Muhammad Yamin, Soepomo dan
Soekarno mengajukan usulannya.
Pada
tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Muhammad Yamin mengusulkan Lima Dasar
Negara tanpa menggunakan istilah Pancasila. Lima Dasar Negara usulan M.
Yamin adalah: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan, 3. Peri
Ketuhanan, 4. Peri Kerakyatan, 5. Kesejahteraan Sosial.
Pada
sidang terakhir BPUPKI 1 Juni 1945 Soekarno mengajukan Lima Dasar: 1.
Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, 3.
Mufakat atau Demokrasi, 4. Keadilan Sosial, 5. Ketuhanan. “Baik usulan
Soepomo, Yamin maupun ‘Pancasilanya Soekarno’, itu tidak pernah menjadi
kesepakatan maupun keputusan BPUPKI,” kata Habib Rizieq.
Kata
Habib Rizieq, sidang berjalan alot. BPUPKI terbelah antara kelompok
sekuler dengan kelompok Islam. Kelompok Islam sudah tentu menginginkan
Negara berdasarkan Islam, dan ditentang kelompok sekuler. Akhirnya
sidang membentuk Panitia Sembilan. “Ada empat ulama dalam Panitia
Sembilan ini, yaitu KH Abdul Wahid Hasyim (NU), KH Abdul Qohar Muzakkir
(Muhammadiyah), KH Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso,
keduanya dari Syarikat Islam,” ujar Rizieq. Sementara golongan sekuler
diwakili Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Ahmad Soebardjo. Dan, kalangan
Kristen diwakili A.A Maramis.
Habib
Rizieq menegaskan, justru Panitia Sembilan yang berhasil menetapkan
Dasar Negara yang dibingkai dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Lima
Dasar Negara itu adalah: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang adil dan
beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan Sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Malah sebelumnya, bunyi sila pertama versi Piagam Jakarta itu adalah: ‘Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’, tanpa diikuti kalimat
‘bagi pemeluk-pemeluknya’. Tetapi kemudian muncul kompromi dengan
menambah kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’.
Disepakati
pula saat proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta ini secara resmi akan
dibacakan. Tapi, kata Habib Rizieq, terjadi penelikungan. Pada 17
Agustus 1945 itu bukan Piagam Jakarta yang secara resmi dibacakan,
melainkan secara dadakan Soekarno membuat teks proklamasi dengan singkat
lewat tulisan tangan. Teks proklamasi dadakan dan singkat inilah yang
dibacakan untuk proklamasi kemerdekaan sebagaimana dikenal sampai
sekarang.
Parahnya
lagi, pada keesokan harinya, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang, dan terjadilah terjadi
pengkhianatan. Tanpa melibatkan wakil-wakil Islam sebagaimana dalam
sidang BPUPKI sebelumnya, terjadilah pencoretan tujuh kata dalam sila
pertama yang berbunyi: ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya’.
Dalih
bahwa kalangan Kristen Indonesia Timur akan menarik diri dari NKRI jika
Piagam Jakarta dideklarasikan seperti disampaikan Hatta yang, katanya,
mendapat informasi dari opsir Jepang, menurut sejarawan dan budayawan
Ridwan Saidi, itu dusta belaka. Tak ada faktanya.
Tanpa
melibatkan wakil-wakil islam dalam pengesahan Dasar Negara Pancasila
yang berbeda dengan Piagam Jakarta, sesungguhnya siding PPKI 18 Agustus
1945 itu tidak sah. Jadi, sebenarnya sampai sekarang jika umat Islam
menegakkan syariat Islam di republik ini adalah sah. Yang berlawanan
atau menentang, justru masuk kategori subversif.
Toh,
meskipun demikian, kata Habib Rizieq, sila pertama yang diganti (tanpa
melibatkan wakil-wakil Islam) menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”, itu pun
jelas maksudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Esa itu
hanya ada dalam Islam. Ditambah lagi ditegaskan dalam Muqaddimah UUD
1945 pada alenia ketiga: “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”, ini
jelas merujuk kepada Islam.
Dengan
pengkhianatan ini, sesungguhnya sidang PPKI yang tak melibatkan
wakil-wakil Islam yang sudah menyepakati Piagam Jakarta bersama kelompok
sekuler dan satu orang wakil dari golongan Kristen, adalah tidak sah.
Dasar Negara yang sah adalah yang disepakati dan ditandatangani pada 22
Juni 1945 yang terdapat dalam Piagam Jakarta. “Historisnya, Pancasilanya
Soekarno ditolak. Yang disepakati adalah Dasar Negara yang terdapat
dalam Piagam Jakarta,” ungkap Habib Rizieq.
Lantas, kata Habib Rizieq, bagaimana ceritanya ujuk-ujuk Indonesia disebut sebagai Negara Demokrasi? Pancasila
yang dijadikan sebagai Dasar Negara (lewat pengkhianatan) itu tidak
menyebut republik ini sebagai sebagai Negara Demokrasi. Tapi, lucunya,
ungkap Habib Rizieq, Soekarno pernah mendeklarasikan Demokrasi Liberal
dan Demokrasi terpimpin untuk tujuan melindungi Komunisme. Sementara
Soeharto mendeklare Demokrasi Pancasila untuk melindungi Kebatinan.
Habib
Rizieq menceritakan, ia pernah mendapat kunjungan dari beberapa
jenderal membahas soal ini. Menurut para jenderal itu, Indonesia adalah
Negara Demokrasi. Lalu, ujar Habib Rizieq, tidak ada kata-kata atau
kalimat dalam Pancasila atau UUD 45 yang menunjukkan
Indonesia sebagai Negara Demokrasi. “Ada,” jawab para jenderal itu,
“Dalam Pancasila sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan itu maksudnya adalah
demokrasi.”……. “Itu Musyawarah. Musyawarah itu berbeda dengan
Demokrasi,” kata Habib Rizieq kepada para jenderal itu. Kemudian Habib
Rizieq menguraikan beda Musyawarah dengan Demokrasi.
Akhirnya,
cerita Habib Rizieq, jenderal-jenderal itu mengangguk bahwa Indonesia
bukan Negara Demokrasi, melainkan, semestinya disebut Negara Musyawarah.
Celakanya lagi, kata Habib Rizieq, jika Soekarno mendeklare Demokrasi
Liberal dan Demokrasi Terpimpin dan Soeharto memaksakan istilah
Demokrasi Pancasila, eh di era “reformasi” kian parah. Ada liberalisasi
Pancasila. Pancasila diliberalkan.
Sebut
misalnya, pemilihan presiden langsung atau kepala daerah yang dipilih
langsung, itu justru bertentangan dengan sila keempat Pancasila yang
menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dalam konteks ini, menurut Habib
Rizieq, ada unsure kesengajaan dengan mengorupsi terminologi (istilah).
Kelompok sekuler menafsirkan seenaknya, sehingga kata Musyawarah
ditafsirkan sebagai Demokrasi.
Dalam
hal ini, Habib Rizieq menambahkan, termasuk, misalnya, penggunaan
istilah parlemen, itu juga untuk mengaburkan kata Musyawarah dan
Perwakilan. “Jangan sebut parlemen, tapi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),” tegasnya.
Ini
bermula dari pengkhianatan terhadap islam dan kaum Muslimin yang
berkuah darah bermandikan keringat dalam merebut kemerdekaan republik
ini. Umat Islam sebagai pemegang saham mayoritas negeri ini adalah yang
berhak menetapkan Dasar Negara dan mengisi pembangunan republik dengan
landasan syariat islam.
Jika
ada pihak yang mengatakan, ini bukan Negara Islam, kalau ente mau
menegakkan syariat Islam di Negara ini, dan tidak suka dengan kondisi
Indonesia sekarang, ‘silakan keluar’, maka, kata Habib Rizieq, justru
sebaliknya, merekalah yang harus keluar. Sebab, penetapan Dasar Negara
Indonesia yang dibingkai dalam Piagam Jakarta itulah yang sah, karena
disepakati dan ditandatangani oleh para pendiri bangsa ini, tapi terjadi
penelikungan dan pengkhianatan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah
proklamasi kemerdekaan—dimana teks proklamasi yang semestinya adalah
pembacaan Piagam Jakarta secara resmi oleh Soekarno, bukan teks
proklamasi dadakan hasil dari tulisan tangan presiden pertama RI itu.
Bahkan, tak hanya
menyepakati Dasar Negara dalam bingkai Piagam Jakarta, umat Islamlah
yang bermandikan darah bercucuran keringat untuk merebut dan
memerdekakan republik ini. Jadi, masuk akal jika kaum Muslimin adalah
yang paling berhak mengatur negeri ini. Ini historis. Jangan mengingkari
sejarah! Ini negeri Islam. Jadi, kata Habib Rizieq, umat Islam harus
mengisi negeri ini dengan syariat Islam, bukan malah minggir apalagi
keluar dari NKRI.
Jadi,
apapun ceritanya, mengungkap historis perjalanan bangsa dan Negara ini,
lebih dari itu, Indonesia sebenarnya adalah Negara yang berdasarkan
Islam, setidaknya bagi pemeluk-pemeluknya diwajibkan menjalankan dan
menegakkan syariat Islam di persada ini. Yang protes dan menghalangi,
jutsru menentang kesepakatan ditandatanganinya perumusan Dasar Negara
dalam Piagam Jakarta!
Kalaupun
tak mengacu pada Piagam Jakarta, Negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, yakni Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Maha Esa itu
adalah Allah. Ditambah lagi dalam Muqaddimah UUD 1945 ditegaskan,
republik ini merdeka “Atas Berkat Rahmat Allah…” Bahkan, imbuh Habib
Rizieq, dalam batang tubuh UUD 45 pasal 29 ayat 1 dipertegas lagi,
”Negara berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi,
kata Habib Rizieq, sungguh sangat sah jika Indonesia berada dalam NKRI
Bersyariah—Negara Kesatuan yang melaksanakan dan menegakkan syariat
Islam. Negara yang berlandaskan Islam, menjalankan syariat Islam,
setidaknya bagi para pemeluknya—dan bukan Negara Pancasila, apalagi
Negara Demokrasi. [slm/fpi]
Sumber : Salam-Online.COM
4. KESIMPULAN
Yang namanya negara itu pasti memerlukan seorang pemimpin, karena tanpa
adanya seorang pemimpin, maka akan dibawa kemana negara ini. Setiap
pemimpin negara itu pasti memiliki tujuan masing-masing, dimana tujuan
itu tidak lain yaitu ingin mencapai sebuah kesejahteraan untuk
rakyatnya. Apakah dengan demokrasi, tujuan negara ini akan terwujud? Dan
apakah dengan sembarang pilih pemimpin, tujuan negara akan terwujud?
Untuk menentukan seorang pemimpin terutama pemimpin ummat dan negara itu
jangan sembarangan untuk memilihnya, karena jika kita salah pilih, maka
akibatnya akan fatal yang akan berdampak kepada rakyat dan negara itu
sendiri. Apakah kita mau dijajah kembali, oleh ‘Belanda’ misalnya?.
Tentu tidak, kan? Oleh karena itu mari kita mulai perubahan ini dimulai
dari diri kita sendiri, karena hanya kita yang dapat membuat sebuah
perubahan itu untuk negara ini.
Mungkin kita pun bingung, bagaimana cara merubahnya? Jika saya harus
merubah sistem demokrasi, itu sangat tidak mungkin, karena apa? Karena
saya hanyalah seorang PEMUDA yang tidak mampu untuk melakukan itu,
saya tidak punya wewenang dan saya tidak punya kemampuan untuk
melakukannya, saya hanya PEMUDA ‘ecek-ecek’, hehe…..hehe…
Setiap ideologi yang ada di setiap negara itu pasti memiliki tujuan yang
baik, tetapi tak dapat dipungkiri juga, bahwa kemampuan manusia itu
sangat terbatas. Terus, apa sebenarnya yang harus kita rubah? Orangnya
kah? Atau sistemnya yang kita rubah?, yang sudah saya bilang tadi, bahwa
sistem itu tidak mungkin saya rubah. Tapi, BUKAN TIDAK MUNGKIN JIKA BERSAMA-SAMA KITA DAPAT MENGEMBALIKAN IDENTITAS NEGERI INI YANG SEBENARNYA YAITU INDONESIA NEGARA MUSYAWARAH. Entah itu melalui jalan Da'wah, Hisbah, maupun Jihad dengan cara sosialisasi, ceramah, seminar, bahkan melalui obrolan.
Mulai dari yang pertama, jika dalam PEMILU nanti, jangan sampai
kita terpengaruh oleh bujukan-bujukan setan yang hanya memberikan
kenikmatan sesaat, misalnya jangan sampai kita mudah untuk disogok oleh
para oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab, sebab itu akan berakibat
kepada negara dan kita sebagai rakyatnya nanti.
Kita harus berfikir ke depan, jangan hanya berfikir konsumtif yang hanya
memikirkan kejadian pada saat itu juga, tetapi kita harus berfikir
panjang. Bagaimana negara ini akan berubah, jika kita hanya mampu
menerima ‘Uang Suap’ yang memberi kenikmatan sesaat kepada kita. Mari
kita berfikir panjang!!
Nah yang kedua, kita dalam memilih seorang ‘pemimpin rakyat’, kita harus
mampu mengenal calon pemimpin kita terlebih dahulu. Jangan memilih
presiden secara ‘subjektif’, artinya kita memilih, jangan karena calon
presiden itu sodara kita atau mungkin calon presiden itu ‘ganteng’. Mari
kita pilih pemimpin kita berdasarkan apa yang dimiliki oleh calon
tersebut. Artinya, apakah orang tersebut mampu memimpin negara dan
rakyatnya kelak?
Kita pilih berdasarkan kriteria seorang pemimpin yang telah diberikan
oleh Islam, yakni apa yang telah dipaparkan oleh Al-Baghdadi, yang
menyatakan: “Kelompok kami berpendirian bahwa orang yang berhak memegang
jabatan khalifah (Pemimpin Negara) harus memiliki kualitas berikut: 1)
berilmu pengetahuan, minimal untuk mengetahui apakah undang-undang yang
dibuat para mujtahid sah menurut hukum agama dan peraturan-peraturan
lainnya; 2) bersifat jujur dan saleh; 3) bertindak adil dalam
menjalankan segala tugas pemerintahan dan berkemampuan”.
Walaupun begitu tetaplah syari’at islam yang nomor 1 (satu), hanya
dengan syariat Islam, negara ini akan merasakan kesejahteraan. Setelah
saya berkicau kesana-kemari, walaupun dari tadi gak ada yang mau ngalah,
semuanya tetap pada pendiriannya masing-masing dan saya juga tetap pada
pendirian saya. Nah, akhirnya saya memberi kesimpulan bahwasanya
“Demokrasi itu tidak sejalan dengan Islam” yang mana di dalam islam itu
tidak ada demokrasi, tetapi yang ada hanyalah musyawarah (syuro), untuk
menentukan seorang pemimpin ummat khususnya.
Mari kita bersama-sama untuk menerapkan kembali musyawarah yang
sebenarnya sudah menjadi pedoman hidup kita yakni yang terdapat dalam
Pancasila, sila ke 4. Hanya dengan bermusyawarah, kita akan mendapatkan
sebuah jawaban yang mendekati kebenaran bahkan kebenaran, karena kita
bermusyawarah tidak hanya mengeluarkan pendapat sesuka kita, tetapi
musyawarah dalam Islam itu adalah berpendapat yang tidak keluar dari
Al-Qur’an dan Hadits.
Yang mana Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan oleh Allah melalui
Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW, yang isinya sudah tidak
diragukan lagi dan isinya pun mencakup segala seluk beluk kehidupan yang
terdapat di dunia dan di akhirat. Dan Hadits yakni ucapan-ucapan Nabi
Muhammad SAW pada saat Baginda kita masih hidup di dunia ini.
Ingat kawan!! Ideologi Islam adalah yang terbaik daripada
ideologi-ideologi yang terdapat di dunia ini, karena ideologi Islam
bukan manusia yang sengaja membuatnya, tetapi Allah SWT yang
menurunkannya dan diamanhkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
meng-syiarkannya ke seluruh penjuru dunia. Jadi, jangan sekali-kali
menyamakan demokrasi dengan musyawarah (syuro) yang terdapat dalam
Islam. Keduanya itu memiliki perbedaan yang sangat jauh… sekali.
Bagaikan langit dan bumi.
INDONESIA BUKAN NEGARA DEMOKRASI, TAPI INDONESIA ADALAH NEGARA MUSYAWARAH.